Bismillahirrahmanirrahiim..
Sehubungan dengan ikhtiar mencari sekolah lagi, yang saya harap mampu berjodoh dengan salah satu sekolah di luar Indonesia, otomatis terdapat persyaratan untuk memiliki sertifikat berbahasa inggris. Berhubung sertifikat TOEFL ITP saya sudah expired dan untuk jenjang S2 di luar sudah tidak bisa menggunakan sertifikat institusional, dimulailah kisah saya mengejar sertifikat bahasa inggris ini.
Mungkin banyak yang berkata, “Ah kalo Alvi mah kalo bahasa inggris udah nggak perlu ditanyakan lagi..” daaannn.. sayang sekali kenyataanya nggak sebegitu mulus kali ini.
Mulanya saya bingung menentukan mau tes apa. Biasalah orang sanguin tipe B. Setelah surfing kesana kemari, saya merasa kalau TOEFL iBT lebih widely accepted. Yang katanya UK sebagai basis tes IELTS pun masih menerima TOEFL iBT. Sementara di Amerika kok saya lihat ada universitas yan tidak menerima IELTS.
Dengan pertimbangan tersebut, saya kemudian mendaftar untuk tes TOEFL iBT di Real English Yogyakarta (lokasi di gedung IONs). Harga resminya lebih murah daripada IELTS yaitu US$175 plus biaya administrasi Rp 200.000. Jatuhnya nyaris 2 juta rupiah. Oya ternyata untuk pendaftaran bisa langsung online lewat ets.org dan bisa dilihat langsung tanggal dan tempat tesnya. Dan kalo daftar dan bayar online tidak kena biaya admin, menurut info kawan saya, Arif HW.
Jarak pendaftaran dan tes saya hanya dua minggu. Minggu pertama saya sama sekali nggak terpikir mau tes, jadi kesadaran mau belajar pun nggak ada. Huahaha. Oh, karena saya baru gres-gresnya masuk kerja sih trus kenapa. Sebelumnya saya sering main ke American Corner buat baca-baca buku IELTS/TOEFL iBT. Setelah kerja jadi ga bisa kesana lagi deh. Untung dipinjami buku TOEFL iBT nya Fajar yang baru saja dia beli secondhand dari Fahim. Nah minggu kedua saya mulai serius baca-baca bukunya, melihat tipe soal dan teknis soalnya. Tapi ini serius-serius nggak serius juga sih, belum pernah mencoba tesnya secara penuh. Saya belum ada bayangan jumlah soalnya berapa, waktunya berapa lama dll yang ternyata menjadi sebuah kesalahan yang fatal.
Hari ujian tiba. Paginya sedikit terjadi insiden eKTP saya entah nyungsep kemana gak ketemu-ketemu >.< Akhirnya saya pake paspor. Kejadian ini agak membuat panik. Tapi sampai di TKP saya udah normal lagi (fyi, saya orangnya kalo ujian ga pernah pake deg-degan, terbukti saat ujian NTU temen2 tangannya dingin saya anget sendiri, tapi gagal juga haha). Sampai di sana kita dikumpulkan di ruangan, dibahas teknis tes secara umum.
Kemudian kami mengantri masuk ruangan karena harus diambil foto terlebih dahulu. Jadi ujian dilakukan sendiri-sendiri tiap orang mendapat satu komputer, tidak dalam waktu yang bersamaan. Nah saat itu ada kejadian bodoh. Layar komputer yang touchscreen itu begitu besar, waktu saya buka programnya dan ada tulisan di tengah, please click button to continue, saya pikir buttonnya baru akan muncul beberapa saat kemudian, karena mungkin harus sync dengan komputer server dulu, karena beberapa halaman sebelumnya button yang perlu dipencet seingat saya berada di tengah. Setelah agak lama, dan orang di sebelah sepertinya udah mulai ngerjain soal, saya mulai bingung, loh kok nggak keluar ya button-nya. Setelah di perhatikan lagi ternyata button “continue” nya ada di pojok kanan atas! Warnanya bener-bener bikin ga nyadar, apalagi dibanding ukuran layar yang besar bikin nggak notice button itu sama sekali. Huah!! Nggak masalah sih sebenernya, nggak mengurangi waktuku. Cuman jadi selesai ujian terakhir sendiri padahal mulainya engga terakhir.
Oke dimulai dengan reading. Reading ini berisi soal-soal seputar sebuah bacaan yang lumayan panjang, tertulis di komputer, dengan spasi kecil, dan hanya mengisi setengah kolom layar. Bentuk pertanyaan bermacam-macam, tapi saya rasa esensinya adalah bagaimana kita mengambil main idea dari setiap paragraf. Untuk sesi ini terdapat timingnya, jadi ga bisa berlama-lama bacanya. Salah satu kesalahan saya yaitu nggak ngerti total bacaan dan soal ada berapa. Jadinya untuk waktu yang udah disediakan nggak bisa memperkirakan berapa waktunya untuk ngerjain per soalnya. Hahaha.. satu dudulnya lagi sebenernya soal-soalnya bisa di-skip dan bisa balik lagi ke soal itu nanti. Tapi yang saya lakukan adalah ya go with the flow aja, kerjain apa yang ada. Akibatnya, di menit-menit terakhir saya baru nyadar waktunya tinggal dikit sementara soal masih banyak. Huahahahaha…
Listening ini juga ga jauh beda. Mengingat pengalaman ITP tahun 2009, saya nggak nyangka soalnya sebanyak itu. Semacam ‘lho kok masih ada lagi??’ sepanjang sesi listening. Ada materi lecture yang panjaangs dan saya sempet kehilangan fokus di tengah jalan saking panjangnya. Tugas utama soal juga masih sama seperti reading, yaitu mencari main idea, dengan style soal yang berbeda-beda sih. Di sesi ini waktunya cukup, karena ya nggak bisa ngulang materi lagi to, tinggal catetanmu yang bisa diandalkan.
Kemudian habis listening break sebentar. Sebentar banget. Secara formal breaknya hanya 10 menit yang saya pakai untuk sholat. Tapi sepertinya sholat saya lebih dari 10 menit deh waktu itu. The point is, tidak ada waktu untuk hal lain, bernafas, stretching, makan, atau minum. Oke jangan manja lah..
Selanjutnya adalah sesi speaking. Jenis pertanyaan sesi speaking ini antara lain, pertanyaan sederhana seperti perkenalan, kemudian ada juga opini. Untuk sesi ini diberikan beberapa detik (puluhan) untuk mempersiapkan jawaban dan diberikan satu-dua menit untuk berbicara ke mikrofon merekam jawaban. Di bagian ini agak susah ketika harus menyusun apa yang akan dibicarakan, karena cuma beberapa detik. Waktu bicara juga harus terbiasa bicara dengan terstruktur atau akan jadi belepotan dan banyak repetisi (terjadi pada saya, hiks).
Tunggu dulu, penderitaan speaking belom berakhir, hahaha :p Ada satu bagian bernama integrated speaking section. Di bagian ini kita harus membaca satu bacaan singkat, kemudian mendengarkan satu pembicaraan terkait dengan topik yang sama kemudian ‘speaking’ sebagai responnya. Di sini kita harus memperhatikan apakah kedua materi saling mendukung atau saling kontras. Seru kan? 😀
Sesi terakhir adalah sesi writing. Sesi ini hampir sama seperti sesi speaking, hanya dibalik: integrated writing hanya membutuhkan tulisan sekitar 200 kata saja, sementara pertanyaan “sederhana” untuk independent writing (menulis bebas) yang membutuhkan 300 kata. Di sesi ini saya tidak mengalami gejolak emosional (halah!) yang signifikan dibanding sesi lainnya, ya karena tinggal nulis aja. Waktu juga alhamdulillah cukup (karena sesi terakhir jadi udah nyadar kalo waktu perlu diperhatikan hahaha). Justru gejolak emosionalnya terjadi setelah menerima nilai. Nilainya nggak sebagus yang saya harapkan, padahal sudah cukup percaya diri.
(to be continued)
Leave a Reply