Pembaca yang budiman, saya persilahkan Anda semua untuk menimpuk penulis yang bertahun-tahun nggak ngelanjutin sequel tulisannya sejak tahun 2014 haha! :sungkem: Baru sekarang penulis merasa kemampuannya nulis agak memudar sehingga perlu kembali menulis. Eniwai, mari kita simak kelanjutan kisah jalan-jalan di Maroko yang bagian sebelumnya dituliskan di sini Jelajah Maroko Bagian 1: Gang Senggol Fez
Setelah seharian jalan-jalan di Fez, langsung pada malam harinya ketiga mahasiswa ini harus melanjutkan perjalanan ke Rissani naik bus CTM. Ngapain ke Rissani? Sebenernya Rissani itu bukan destinasi wisata kebanyakan di Maroko. Kami berencana untuk desert tour dan camping di Gurun Sahara, dan setelah Googling sana sini, salah satu destinasi favorit untuk itu adalah ke kota Merzouga. Sebelumnya kami udah mencoba mencari tour Sahara yang paling ekonomis di internet, yang mana bukan perkara gampang. Tour yang murah meriah yang kami temuin, websitenya masih dengan format Microsoft Frontpage (bahkan belum jamannya WordPress) :)). Dari website itu kami kontak-kontakan dengan penyedia tour.
Sebenernya agak deg-degan juga. Bayangin kami kontakan cuman lewat email, gak dikasih nomor telpon, sementara informasi umum tentang Rissani dan Merzouga juga nggak terlalu banyak bisa ditemukan di dunia maya, udah gitu nama koresponden di email itu adalah Linda. Errr.. kayak bukan nama orang Arab pada umumnya. Pesan Linda cuma satu, pagi sesampainya di terminal bus di Rissani, kami bakal dijemput oleh Hassan Africa. Oke. Ciri-cirinya si Hassan gimana, dijemput naik apa, meeting pointnya dimana? Nggak tau! :)))
Mendadak Paranoid
Bismillah positif thinking kita jalanin aja dulu. Setelah sampai di Rissani, ternyata udah banyak orang yang nungguin kita di depan bis. Ada beberapa orang yang manggil-manggil "Merzouga.. Merzouga.." bikin timbul rasa penasaran kami, jangan-jangan ini yang orang mau jemput. Berhubung bangsa Maroko menggunakan bahasa Arab dan bahasa Perancis sebagai bahasa sehari-hari, ketika kami deketin si bapak itu,"Merzouga Tours?" | "Yes.. yes.." dan bapaknya langsung ngomong bahasa yang entah apa kami ga ngerti, jalan duluan, dan akhirnya kami cuma bisa ngikut aja. Dia membawa kami ke sebuah ada mobil jeep, dan kami akhirnya naik jeep itu. Sebelum naik jeep masih inget banget aku sempat nanyain "Hassan Africa?" tapi ga dijawab sama bapaknya……………..
Sepanjang jalan kami bertiga ga ngobrol banyak ataupun menikmati pemandangan gurun yang mulai terlihat di kanan dan kiri jalan, melainkan mikir dan berharap ini bener si bapak dari tour yang kita booking. Jalanan sudah mulai off-road, jeep kami memasuki kawasan jalan yang sudah bukan lagi aspal, melainkan pasir. Akhirnya kami memasuki satu bangunan di tengah gurun yang dikelilingi tembok semen lumayan tinggi mirip benteng. Sampai juga kami di Erg Chebbi, kawasan Gurun Sahara dekat dengan Merzouga.
Excitement melihat tempat singgah yang unik itu pudar sementara ketika sopir jeep tiba-tiba minta kami bayar masing-masing 25 dirham untuk ongkos perjalanan. Wadew, kirain udah sepaket sama tournya. Gak jadi hepi, balik lagi ke mode deg-degan, bisa dipercaya ga ini tournya?
Tour kami baru dimulai sore nanti. Kami menunggu di tempat singgah yang nuansanya khas Arab seperti di gambar di bawah ini nih. Karena trauma dengan pengalaman buruk yang baru saja terjadi, kami jadi hati-hati banget di situ, barang-barang nggak pernah luput dari pengawasan.. padahal aslinya tempat itu sepi, ga banyak turis, di tengah gurun pula. Namanya juga udah paranoid.
Jalan-jalan ke Gumuk Pasir/Sand Dunes
Walaupun lagi paranoid, daripada mati gaya kami jalan-jalan ke gumuk pasir (sand dunes) deket situ, tentunya setelah mengamankan barang-barang bawaan.
Yaampun masih gak nyangka lagi ada di Gurun Sahara, yang selama ini cuman tau dari buku IPS waktu SD. Berjalan di atas pasir nggak kalah sama berjalan di atas salju, sama-sama meninggalkan jejak kaki. Ditambah melihat hamparan pasir yang luas banget bergunduk-gunduk kecoklatan. Dan nggak terlihat apapun sejauh mata memandang selain hamparan pasir. Hashtag mengharukan. Hashtag masya Allah alhamdulillah allahu akbar :’).
Balik ke persinggahan, kami kemudian menghadapi realita selanjutnya. Laper. Gimana caranya kita bisa dapet makan di tempat kayak ini? Nggak ada warung makan di sekitar situ. Kami sempat ngobrol sama penjaga persinggahan sebenernya mereka udah cerita kalau mereka menyediakan makanan. Tapi kami curiga, pasti harganya mahal. Dan bener saja, waktu Sigit iseng nanya, harganya 100 dirham atau 10 euro atau 130 ribu rupiah. Alamak. Biasanya di kota cuma habis 40 dirham untuk makan besar. Terus gimana caranya kita makan? :))
Indomie Penyelamat Mahasiswa, Di Mana Saja, Kapan Saja
Sebelumnya saat perjalanan ke terminal bus di Fez, kami dikejutkan oleh sebuah toko yang menjual indomie. Nggak nyangka jauh-jauh ke benua Afrika bisa nemu mie instan kebanggan bangsa itu. Langsung kami beli beberapa untuk bekal. Karena teringat masih punya stok Indomie, kami langsung coba basa basi ke penjaga persinggahan siapa tahu boleh masak di dapur. Bayar buat sewa dapur nggak apa deh, daripada bayar buat makan.
Untungnya akhirnya penjaganya berbaik hati, kami diperbolehkan masak indomie! Ini epic banget, makan indomie di Gurun Sahara. Padahal Maroko itu negara muslim, makanananya jelas halal dan harga makannnya biasanya cukup terjangkau. Jauh-jauh ke Maroko mustinya makan kus kus, tagine, atau apa gitu, ini kita makan…. indomie. :))
Alhamdulillah berkat indomie kami bisa bertahan menunggu sampai tour dimulai di sore harinya. Saat itu dipersinggahan nggak banyak orang, ada dua atau tiga turis bule. Namun ternyata untuk keberangkatan tour sore itu kami cuman bertiga. Wih, eksklusip ya.
Tur Gurun yang Sebenarnya
Tournya ngapain aja sih? Jadi kalau kata "Linda" (yang akhirnya kami ga tau itu siapa, ga ketemu orangnya sama sakali), tournya termasuk menginap di tenda di tengah gumuk pasir/sand dunes, perjalanan naik onta pulang pergi, makan malam di tenda, tour guide, dan makan pagi. Total biaya semua 30 euro per orang.
Sore itu tiga onta sudah bersiap di samping persinggahan. Perbekalan mulai dimasukkan ke onta yang paling besar, yang juga jadi onta yang aku naiki berhubung aku paling berat. Perjalanan dengan onta kurang lebih sekitar 1.5 jam. Seru sensasi goyang kanan kirinya, apalagi berjalan di pasir, bukan di tanah yang rata.
Sesampainya di tenda langit sudah mulai gelap. Tour guide kami, Muhammad, mulai menyiapkan makan malam. Makan malamnya dimasak di api unggun yang baru saja dia nyalakan. Kami makan (kalo ga salah) tagine yang dimasak Muhammad, yang di sajikan di periuk tanah liat, dilengkapi juga dengan teh daun mint khas Maroko. Jangan bayangkan kayak makan di resto ya, tapi untuk makanan camping, udah cukup mewaaah.
Setelah makan kami bercerita dengan Muhammad, dengan bahasa Inggrisnya yang terbatas, dia cerita tentang suku Berber yang masih nomaden sampai sekarang, sering berpindah-pindah tempat tinggal di sekitar Gurun Sahara bagian Maroko, bahkan sampai Tunisia. Muhammad juga sempat menyanyikan sebuah lagu Berber dengan memainkan gendang.
Walaupun ceritanya lagi di tengah gurun, suhu saat itu super dingin. Memang saat itu lagi musim dingin, dan dinginnya malam di gurun nggak kalah sama dinginnya salju di eropa, serius. Idealnya dengan suasana di alam terbuka, ada api unggun, ada gendang, enaknya malam dihabiskan dengan bernyanyi sambil lihat bintang yah. Tapi kami udah ga tahan sama dinginnya, udah pengen langsung kemulan. Di tenda banyak disediakan selimut tebal, tapi entah kenapa nggak ngaruh. Padahal sudah 3 lapis. Selimutnya memang bukan tipe duvet, tapi selimut tebal dan berat, jadi nggak ngunci panas tubuh gitu. Untung cuma nginep semalem aja.
Pagi setelah matahari terbit kami sudah bersiap naik onta untuk kembali ke persinggahan. Di perjalanan naik onta mataharinya semakin tinggi, kami menikmati banget sorotan mentari selama perjalanan itu. Meskipun kadang-kadang terpaksa melihat onta kami berulah dengan buang hajat di perjalanan ahahha.
Kembali di persinggahan, kami harus memikirkan perjalanan selanjutnya, yaitu gimana caranya, dari tengah-tengah gurun antah berantah ini, kami bisa ke belahan Maroko lainnya: Marrakech. Biasanya kalau lagi travelling semua detail perjalanan udah diriset dan dipersiapkan sebelum berangkat. Tapi kali ini belum, karena minimnya informasi tentang kota yang kami singgahi saat itu. Kira-kira apa yang akan terjadi selanjutnya? 😀
(bersambung ke bagian 3… yang entah kapan ditulisnya. hahaha. Ini perjalanan terlalu banyak epic momentsnya sih, jadi harus ditulis semua. Tapi panjang jadinya, agak mager memulainya.)
Leave a Reply