Pernah terbayang hidup di kalangan minoritas? Mungkin terpaksa menuntut ilmu di institusi berbasis agama lain, atau bahkan tinggal di negara yang sedikit jumlah umat Islamnya? Lalu jika kita berada di kalangan non-muslim Apakah akan sulit kita mengamalkan agama dan mencari kebahagiaan spiritual? Apakah kita selalu akan mengikuti arus dan melupakan nilai-nilai Islam?
Well, kalau dari pengalaman saya, justru banyak kenikmatan-kenikmatan yang ditemukan hanya jika berada di kalangan minoritas. Alhamdulillah, saya berpengalaman hidup 3 tahun di kalangan minoritas bersama orang tua (pengalaman luar biasa), dan 1 tahun di kalangan minoritas tanpa orang tua (sensasinya lebih luar biasa!).
Berikut penggalan-penggalan kisah tentang kenikmatan spiritualitas hidup di kalangan minoritas yang pernah saya rasakan
Lebih berhati-hati
Shalatnya jam berapa ya? Subuh jam berapa? Isya jam Berapa?
Hidup di negara empat musim membuat matahari keluar dan masuk pada jam yang berbeda-beda tiap harinya, dan bedanya sangat signifikan. Wajib deh tiap hari ngecek jadwal shalat. Biasanya kalau winter, matahari malas keluar, subuh bisa jam 8 pagi, maghrib jam 4 sore. Kalau summer mataharinya sombong banget, alhasil subuh setengah 3 dan isya setengah 12, wew! Apalagi di negara minoritas namanya suara adzan itu gak pernah terdengar. Nah keluar deh effort untuk tiap hari membuka website masjid lokal untuk melihat jadwal shalat atau memasang aplikasi adzan di komputer.
(Aslinya ini nggak ada kaitannya langsung sama kalangan minoritas, cuman ya berhubung negara empat musim ndilalah umumnya kok ya minoritas, hehe :D)
Tetangga kamu yang baik hati, menawarkan es krim! Ya siapa to yang mau nolak gratisan 😀 Eits ada E471 nya kagak yah? Masa mau nolak :S
Yap, kita jadi berhati-hati dengan apa yang kita makan, dan perkara ini nggak cuma apakah kita di supermarket memilih daging yang berlogo halal atau tidak. Tetapi semuuuuua bahan makanan harus dipastikan bebas dari bahan-bahan yang diharamkan, misalnya emulsifier (zat yang sering ditemukan pada roti, es krim dll) yang seringkali bahannya dari yang diharamkan dan ternyataaah yang diharamkan ini ngga sekedar daging b*b* loh, bahkan ada zat dari serangga yang diharamkan. Alamak. Bersyukurlah yang hidup di negara mayoritas, sudah ada majelis ulama yang melakukan sertifikasi. Tapi kenikmatannya adalah, alhamdulillah jadi teliti sebelum membeli dan rajin ikut kajian Halal-Haram, buka-buka kitab Fiqih Minoritas, dan inilah saatnya mengamalkan semua itu!
Berjumpa dengan yang seagama
Sedang keluar untuk belanja kebutuhan, tiba-tiba disapa sama seorang bapak-bapak “Assalamualaikum, are you from Indonesia? I am from Iraq, I am a doctor, this is my wife’s number, just call us if you need any help.” :’)
Memikirkan kembali hal-hal mendasar
Kenapa judi haram dalam Islam? Kenapa babi haram?
Kadang-kadang hal simpel seperti ini sering ditanyakan. Hal-hal semacam ini adalah hal yang kita sudah percayai sejak dulu dan kita tinggal jalani saja, kadang tidak perlu memikirkan kenapa kok ini itu bisa diharamkan. Nah yang seperti ini baru kepikiran kalau kita sedang berada di lingkunan non-muslim karena keterbatasan pengetahuan mereka tentang Islam. Eitssss,, tapi apa kita sendiri juga tahu penyebabnya?
Menjadi agen Islam, malu dong kalau kita nggak bisa memberikan jawaban dari pertanyaan itu. Nanti orang pikir orang-orang Islam itu pada nggak serius dengan agamanya. Akhirnya mau ndak mau kita cari tahu lagi, belajar lagi dari awal tentang agama kita yang tercinta, merasa tertampar ternyata selama ini nggak pernah tahu hal-hal seperti itu. Dan selama ini kita mengaku Islam …
Masih soal pertanyaan-pertanyaan simpel akibat curiosity orang-orang di sekitar kita. Hati-hati kalau kita sedang diskusi dengan orang dengan intelektualitas tinggi, mereka pasti tidak akan dengan mudah menerima apa yang kita katakan. Apalagi kalau jawabannya hanya singkat dan tanpa bukti. Misalnya, kenapa babi haram? | Karena tidak sehat.| Tidak sehat bagaimana? Kakek saya makan babi dan umurnya sudah sampai 80 tahun. Nahlo.. Kalau udah gini ga cuma kitab-kitab agama yang dibuka dan dibaca lagi, tapi kitab ilmiahnya juga.
Selain kita butuh pengetahuan, kita juga harus belajar bijaksana dengan memilih kata-kata yang friendly, tidak menghakimi, tidak menyinggung dan menyakiti orang apalagi agama lain. Seringkali kita harus membuat analogi-analogi untuk itu. Kita nggak mau kan Islam dicap sebagai agama yang ga masuk akal, terbelakang, apalagi dengan imej dan stigma Islam di dunia sekarang ini.
Ah pokoknya, banyak hal-hal yang nggak pernah kita kepikiran untuk melakukannya ketika kita nyaman di kalangan mayoritas…
Didukung pemeluk agama lain
“Jangan! Kamu jangan makan itu, ada babinya” “Alvi! Kamu sudah shalat belum?”
Subhanallah! Karena orang sudah biasa menganggap kita “berbeda” dan seringkali harus diperlakukan dengan cara yang berbeda pula, kadang malah ndak perlu kita melulu yang mencari excuse. Rasanya benar-benar surprising ketika orang lain bisa memahami dan menerima perbedaan kita, dan bahkan sering didukung dalam beribadah. Wow. Kalau sudah sampai level kenyamanan itu, rasanya undescribably happy!
So, menjadi minoritas bukan berarti membuat kepercayaan kita menjadi luntur. Banyak tantangan baru yang membuat kita harus lebih gigih mempertahankan identitas kita sebagai Muslim. Dan dibalik perjuangan itu nikmat yang kita peroleh juga merupakan kenikmatan yang sangat langka yang membuat kita makin cinta dengan Islam. Alhamdulillah. Jadi jangan takut untuk travelling! Yuk keluar! Tuntut ilmu sampai ke negeri Cina! Anggap semua tantangan itu ada kenikmatan di baliknya! Nikmati bumiNya yang indah dan luas ini 😀
Leave a Reply