Mental Model di Warung Makan

Tempat makan (di Indonesia) itu banyak macamnya

  • Warteg
  • Fast food/take away
  • Restoran
  • Kafe
  • Warung gerobak

nah tiap tempat makan bisa punya cara pesen, makan, dan bayar sendiri. Di warteg, warung padang, warung nasi biasanya nasi, sayur dan lauknya ditata di sebuah lemari kaca. Pembeli bisa mengambil piring dan menunya sendiri atau diambilkan oleh penjaga warung (biasanya kalau dibungkus). Ada warung yang memberi harga dengan melihat apa saja isi piring, tapi ada juga warung yang cukup pembeli menyebutkan apa lauknya.

Di warung nasi menu bisa langsung dilihat dan diambil, kadang strategi penjualan itu berada di peletakan menu. Sama dengan ketika menata makanan di rumah biar makanan cepat habis harus bisa kelihatan sama yang mau makan (nasehat ibuk). Beda lagi strateginya kalau ada di restoran atau tempat makan yang harus masak dulu. Penjualan tempat seperti itu bergantung ke tulisan atau gambar pada menu (asumsinya si warung belom kondang ya).

Aktivitas terakhir adalah bayar. Ada yang bayar di depan sebelom dapet makanan, ada yang bayar berdasarkan penilaian kasir, ada yang pake nota, ada juga yang bayar berdasarkan kejujuran nyebut lauk apa yang dimakan.

Terus apa sih poin-nya tulisan ini?

Sebetulnya motivasi tulisan ini adalah pengalaman siang tadi beli makanan di warung geprek. Jogja mulai dua tahun yang lalu latah warung ayam geprek dan ada warung yang meniru 98% warung ayam gepreknya Bu Rum (pionir yang paling kondang menurut sejarah warung ayam geprek). Di warung Bu Rum sebelum makan biasanya antri, ambil sendiri nasi, sayur, terus ayamnya dibawa ke mas-mas biar digeprekin sambil menyebutkan berapa tingkat kepedesan yang diinginkan. Nah warung tadi siang tuh 95% mirip Bu Rum dari sisi bentuk piringnya, nasi ambil sendiri, ayam milih sendiri terus dibawa ke penggeprekan. Tetapi peletakannya sedikit berbeda dan ga ada penjaga warung yang ngasih tau. Udah lama ga makan di warung ayam geprek sih, jadi perlu sedikit me-refresh memori, tetapi melihat piring rotan yang dikasih alas kertas coklat bikin aku memasang mental model “oh, ini kaya di Bu Rum”. Tapi karena peletakan berbeda jadi “lho ini mulai dari mana? terus dikasihkan ke penggeprekan gimana?”

Jadiiii.. monggo yang akan mendesain sebuah sistem (apapun, di sini contoh simpelnya warung makan) untuk menginvestigasi apa sih yang sudah familiar dengan user. Trus ternyata tempat asal menentukan mental model seseorang. Bisa jadi kalo bukan orang Jogja atau gak familiar dengan ayam geprek Bu Rum gak akan bingung kaya saya tadi.

Tapi bukan berarti sistem baru harus selalu sama dengan sistem yang sudah ada dengan alasan “biar gampang”, tentu semua ada faktor lain yang menentukan (misalnya gimana biar antrian lancar, ga tabrakan, ato bahkan strategi biar penjualan lebih kenceng). Apalagi kalau sistemnya dipake ke banyak orang dan mulai ada diversity, mulai perlu identifikasi apa yang essential dan apa yang necessary.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *